Malam Balet Kazakhstan: Kemegahan “Ma Carmen” dan “Salome”

lkui.umsida.ac.id – Langit Astana sudah gelap pekat ketika bus berhenti dengan desisan pelan di depan gedung opera yang megah. Malam itu adalah malam yang saya dan teman-teman saya tunggu-tunggu. Pengalaman pertama menonton pertunjukan balet di Kazakhstan, negara yang menyimpan harta karun budaya di tengah hamparan stepa. Saya melangkah turun dari bus, kaki terasa sedikit kaku setelah perjalanan yang cukup lama. Angin malam yang dingin langsung menyambut, memaksa saya mengeratkan syal yang saya pakai. Di kejauhan, lampu-lampu fasad gedung opera berkilauan, memberikan kontras dramatis dengan langit malam. (21/11).

“Wah, arsitekturnya sungguh luar biasa, ya?” seru Zellfa di samping saya, yang sedang menegluarkan handphone dari sakunya. Saya mengangguk setuju. “Ya, sangat megah sekali, dan sangat cantik!.” “Pasti pertunjukannya akan sangat memukau!.”. Balas Cia dengan penuh semangat sambil berjalan menuju pintu masuk.

Setelah proses pemeriksaan tiket, saya dan teman-teman saya berada di dalam lobi yang dihiasi marmer dan lampu kristal sambil sesekali berfoto. Suara gemerisik gaun, bisikan, dan denting sepatu hak tinggi memenuhi ruangan. Saya mengambil tempat di bangku yang sudah ditetapkan pada tiket dan mulai mengatur napas. Saya melirik handphone saya, lima belas menit lagi tirai akan dibuka untuk pertunjukan pertama: “Ma Carmen”. Saat lampu-lampu meredup, keheningan yang tebal menyelimuti ruang teater. Musik orkestra mulai mengalun, dan tirai perlahan naik. Tarian “Ma Carmen” segera memikat. Gerakan para penari begitu intens, menghadirkan kisah gairah dan tragedi dengan kekuatan yang luar biasa. Saya hampir tidak berkedip. Setelah babak pertama berakhir, saya menoleh pada dariga yang menemani kita menonton di sebelah saya. “Mereka benar-benar menghayati perannya, bukan?” bisik saya kepadanya. Dariga tersenyum tanpa menoleh. “Tentu saja. Ini balet khas Kazakhstan. Emosi mereka begitu murni. Tunggu sampai Anda lihat ‘Salome’ nanti,” jawabnya singkat. Setelah jeda, panggung kembali siap untuk balet kedua, “Salome”.

Illustration from Google

Musik yang dimainkan terasa lebih gelap dan mistis. Berbeda dari “Ma Carmen” yang penuh gairah terbuka, “Salome” menghadirkan nuansa ketegangan dan bahaya yang terselubung. Penari utama yang memerankan Salome muncul dengan aura mematikan. Puncaknya adalah tarian tujuh selendang yang legendaris. Setiap selendang yang jatuh adalah simbol dari godaan dan kehancuran. Gerakannya begitu luwes namun penuh makna. Ketika pertunjukan berakhir dengan klimaks yang menegangkan, tepuk tangan riuh pecah seakan memecahkan keheningan yang panjang. Saya ikut berdiri, bertepuk tangan hingga telapak tangan terasa perih taklupa saya menyerukan kata-kata seperti “Vamos!.”, sebagai pengakuan atas kerja keras dan talenta luar biasa yang baru saja saya saksikan.

Di luar gedung, udara terasa semakin dingin, tetapi hati saya hangat dipenuhi energi dan inspirasi. Bus untuk perjalanan pulang sudah menunggu di terminal. Sambil berjalan menuju halte, saya berhenti sejenak dan menoleh kembali ke gedung opera. Saya mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto untuk kenangan. Memasuki bus, saya tahu perjalanan pulang akan menjadi momen perenungan yang indah, membawa serta kenangan abadi tentang dua kisah yang dibawakan oleh jiwa-jiwa penari di jantung Kazakhstan.

Penulis: Arum Tyas P
Editor: LKUI Umsida

Related Posts

ENULife: Catatan Kunjungan Mahasiswa Umsida ke Eurasian National University

lkui.umsida.ac.id – Kunjungan mahasiswa Umsida ke L.N. Gumilyov Eurasian National...

Menjadi Tamu di Acara Student Initiation of EAGI Kazakhstan

lkui.umsida.ac.id – Menghadiri acara Student Initiation of EAGI Kazakhstan merupakan...

Esil University Lakukan Kunjungan dan Penandatanganan MoA dengan UMSIDA

lkui.umsida.ac.id – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) menerima kunjungan resmi dari...