lkuiumsida.ac.id – Tantangan ketenagakerjaan di Indonesia kian kompleks seiring dengan meningkatnya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, terdapat lebih dari 7,28 juta pengangguran, dan yang memprihatinkan, lebih dari satu juta di antaranya merupakan lulusan sarjana dan diploma.
Fenomena ini mengangkat kembali perbincangan mengenai kesenjangan antara pendidikan formal dan kebutuhan pasar kerja. Dalam wawancara bersama ABC Indonesia yang diterbitkan pada Juli 2025, Isna Fitria Agustina, dosen Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA), menyampaikan keprihatinannya terhadap sistem pendidikan tinggi yang menurutnya belum sepenuhnya membekali mahasiswa dengan keterampilan aplikatif yang dibutuhkan di dunia kerja.
“Pendidikan kita masih belum terimplementasi, masih tentang keilmuan [teori],” ujar Isna, sebagaimana dikutip dalam laporan ABC Indonesia.
Lebih lanjut, ia mencontohkan bahwa mata kuliah kewirausahaan pun, yang seharusnya memberikan pengalaman praktis, sering kali hanya diberikan dalam bentuk teori. Akibatnya, banyak lulusan tidak siap terjun ke dunia kerja karena tidak memiliki keahlian terapan yang relevan.
Menurut Isna, ketidaksesuaian ini menyebabkan banyak lulusan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya produktivitas dan kemandirian lulusan baru.
Dalam wawancara tersebut, Isna juga menanggapi target ambisius pemerintah yang pada masa kampanye sempat menjanjikan pembukaan 19 juta lapangan kerja. Ia menilai bahwa revisi target menjadi 8 juta tetap belum cukup untuk menampung jumlah angkatan kerja baru yang terus bertambah setiap tahun. Selain itu, ia mengkritik bahwa berbagai program ketenagakerjaan yang saat ini dijalankan, seperti padat karya, koperasi, hingga Program Makan Bergizi Gratis (MBG), belum benar-benar menjangkau masyarakat dari kelompok ekonomi bawah.
Isna menilai, akses informasi dan peluang kerja masih timpang. Program-program yang ditawarkan justru lebih mudah diakses oleh masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki modal sosial dan digital lebih baik, sementara kelompok rentan masih dihadapkan pada hambatan struktural.
Tak hanya menyoroti substansi kebijakan, Isna juga mengangkat pentingnya peningkatan kompetensi komunikasi publik para pemangku kebijakan. Ia menilai banyaknya mispersepsi di masyarakat muncul karena lemahnya penyampaian informasi dari pihak pemerintah, serta kurangnya riset dalam merancang kebijakan yang sesuai dengan kondisi lapangan.
“Pimpinan kita itu lemah dalam tata cara komunikasi, public speaking-nya perlu diasah, supaya tidak sering mispersepsi jika menyampaikan kebijakan,” ungkapnya kepada ABC Indonesia.
Kendati demikian, Isna tetap melihat adanya peluang besar, khususnya di kalangan generasi muda. Ia mendorong agar anak-anak muda tidak hanya menunggu lapangan kerja formal, melainkan aktif mencari celah untuk membangun usaha sendiri. Menurutnya, sudah banyak program pemerintah daerah—seperti dari dinas koperasi, perindustrian, dan UMKM—yang menyediakan pelatihan keterampilan dan bahkan akses permodalan bagi calon wirausaha muda.
Dengan menggandeng komunitas dan memanfaatkan program tersebut, pemuda diharapkan mampu merintis usaha kecil yang berkelanjutan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada sektor formal dan turut menekan angka pengangguran struktural.
Sumber: ABC Indonesia