lkui.umsida.ac.id – Sekolah Ban Nonpasang kembali menyelenggarakan tradisi tahunan bermalam di kuil. Kegiatan ini menjadi salah satu agenda penting dalam kalender pendidikan sekolah karena mengajarkan para siswa nilai-nilai spiritual, kedisiplinan, dan kebersamaan. Selama dua hari satu malam, seluruh siswa mengikuti rangkaian acara penuh makna yang dipersembahkan untuk menghormati tiga hal utama dalam budaya Thailand: Buddha, Raja, dan Relasi (hubungan sosial dan kebersamaan). (28-29/08).
Sejak pagi, siswa dengan seragam putih sudah memenuhi area kuil. Wajah-wajah ceria sekaligus penuh harapan tampak dari setiap langkah mereka. Rangkaian acara diawali dengan doa bersama di aula kuil.

Siswa-siswa Ban Nonpasang berdoa dengan khidmat, menciptakan suasana penuh ketenangan.
Setelah itu, para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membersihkan area kuil. Dengan sapu, kain pel, dan tangan yang cekatan, mereka menyapu lantai, membersihkan debu, hingga menata area persembahyangan. Kegiatan ini tidak hanya melatih tanggung jawab, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat pada tempat ibadah yang mereka kunjungi.


Siswa-siswa Ban Nonpasang membersihkan seluruh area kuil.
Selesai membersihkan kuil, siswa berkumpul kembali di aula untuk mendengarkan ceramah dari biksu. Suasana hening ketika biksu mulai berbicara tentang pentingnya menghormati Buddha sebagai guru agung, kesetiaan kepada Raja sebagai simbol persatuan, serta relasi sosial yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat.

Biksu memberikan gelang blessing kepada siswa.
Ceramah itu juga dipadukan dengan pemutaran video yang menampilkan kisah-kisah moral sederhana namun menyentuh, seperti kisah tentang berbagi, kejujuran, dan persahabatan. Anak-anak terlihat fokus, beberapa bahkan meneteskan air mata karena tersentuh.

Seorang siswi larut dalam doa dan meditasi.
Namun, tidak semua bisa ikut masuk ke aula. Saya sendiri bersama Barbara, seorang guru asing asal luar negeri yang beragama Kristiani, menunggu di luar. Kami berdua menghormati kegiatan ini meski tidak ikut serta dalam doa. Saya sebagai seorang Muslim, dan Barbara sebagai seorang Kristiani, mendukung siswa dari luar aula.
Menjelang siang, suasana berubah menjadi lebih akrab ketika seluruh siswa, guru, dan orang tua menikmati makan siang bersama. Dengan duduk bersila di lantai, mereka berbagi hidangan yang telah disajikan.

Siswa dan guru menikmati hidangan dengan penuh keakraban di aula kuil.
Momen ini memperlihatkan makna dari relasi sosial: tidak ada perbedaan antara siswa, guru, maupun masyarakat. Semua duduk sama rata, saling berbagi cerita, dan saling tertawa.
Setelah makan siang, siswa beristirahat sejenak, kemudian sore harinya mereka kembali berdoa dan mempersiapkan diri untuk bermalam di kuil. Malam itu, aula dipenuhi suasana hening. Siswa duduk dalam posisi meditasi, mendengarkan bimbingan biksu tentang arti syukur, pengendalian diri, dan kebersamaan.
Bagi sebagian siswa, tidur di kuil menjadi pengalaman pertama jauh dari rumah dan orang tua. Meski ada rasa rindu, kebersamaan dengan teman-teman membuat suasana hangat.
Keesokan paginya, siswa melakukan persembahan makanan untuk para biksu. Dengan penuh ketertiban, mereka membawa nampan berisi makanan sederhana. Doa penutup kemudian dilantunkan dengan khidmat, mengakhiri rangkaian kegiatan tahunan ini.

Elsyien (Mahasiswa Umsida) dan Barbara mendampingi dari luar aula kuil sebagai bentuk penghormatan antar agama.
Kegiatan ini tidak sekadar seremonial, tetapi penuh makna: Buddha sebagai simbol kebijaksanaan dan welas asih, Raja sebagai simbol persatuan dan kepemimpinan, dan Relasi sebagai simbol kebersamaan dan kehidupan sosial. Kepala sekolah Ban Nonpasang menyampaikan, “Kegiatan ini adalah pendidikan karakter nyata. Anak-anak belajar disiplin, kebersamaan, dan nilai spiritual yang tidak mereka dapatkan di kelas biasa”. Salah satu orang tua juga menuturkan kebanggaannya, “Anak saya jadi lebih menghargai orang lain, lebih mandiri, dan lebih disiplin setelah ikut acara ini.”
Tradisi tahunan bermalam di kuil bagi siswa Ban Nonpasang adalah perpaduan antara pengalaman spiritual, sosial, dan pendidikan karakter. Meski saya dan Barbara tidak ikut dalam doa di dalam aula karena keyakinan kami berbeda, pengalaman ini tetap memberikan pelajaran berharga tentang toleransi dan penghormatan lintas agama. Acara ini menjadi bukti bahwa sekolah tidak hanya mendidik dalam aspek akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur yang akan melekat sepanjang hidup para siswa.
Penulis: Elsyien
Editor: LKUI