• Buku Panduan Kerjasama
  • Buku Panduan Kerjasama

Expanding Horizons: The Life-Changing Benefits of International Credit Transfer

Apa hal pertama yang terlintas dalam benak seseorang tentang pertukaran pelajar ke luar negeri? Jalan-jalan? Berburu kuliner unik setiap hari? Atau bahkan berfikir untuk bertemu jodoh di luar negeri? Hal-hal menyenangkan tersebut juga sempat saya bayangkan ketika hendak mendaftarkan diri di program International Credit Transfer (ICT) Program yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa UMSIDA untuk mengembangkan potensi serta pengetahuannya lewat program pertukaran pelajar di Universitas Sultan Zainal Abidin (UNISZA). Universitas negeri ternama ini berlokasi di Terengganu, Malaysia. Proses seleksi untuk mengikuti program ini terdiri atas tes kemampuan Bahasa Arab dan tes wawancara. Peserta yang lolos program pertukaran mahasiswa sebanyak 6 mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas yangada di UMSIDA.


Here the important things, Pertukaran Pelajar itu bukan hanya untuk seru-seruan semata. While some students may imagine that International Credit Transfer program is a type of extended vacation, in reality, this program offer much more than just a chance to travel. Bisa jalan-jalan ke luar negeri gratis memang terlihat sangat menggiurkan. Tapi setelah menjalani nya “secara nyata” maka bersiaplah untuk tidak berleha-leha. Karena tantangan yang sebenarnya sudah ada di depan mata. Lolos seleksi dan mengikuti perkuliahan selama satu semester di luar negeri menjadikan kami awardee yang membawa nama kampus dan nama Indonesia sampai program berakhir. Hal tersebut menjadi sebuah tanggung jawab yang berat untuk dipikul dan tidak boleh “asal-asal an” dalam menjalaninya. Saya tidak mengatakan bahwa itu berarti tidak boleh jalan-jalan. Tentu saja boleh terlebih lagi kesempatan pergi ke luar negeri gratis ini merupakan kesempatan yang tidak biasa. Namun perlu diingat kesempatan yang dimiliki diprioritaskan untuk belajar. Sehingga sangat disayangkan jika kita terlena dari tujuan utama, bukan?


Hari pertama masuk kuliah saya cukup merasa khawatir dan cemas karena suasana di UNISZA terasa sangat kuat dengan hawa “haus ilmu” para mahasiswa nya. Ketika saya masuk kedalamPerpustakaan Universitas Sultan Zainal Abidin. Disana Mahasiswa sangat fokus tenggelam dalam sumber bacaan/tugas nya masing-masing. Bahkan dilantai tingkat paling atas perpustakaan terdapat bangku khusus bagi mahasiswa yang benar-benar ingin belajar tanpa mau diganggu oleh siapapun. Namun untuk mendapatkannya mahasiswa harus beradu cepat dengan mahasiswa lainnya. Suasananya pun amatlah tenang. Yang terdengar hanyalah derap Langkah kaki kami yang saat itu sedang diantar pendamping untuk melihat-lihat suasana kampus.


Sistem pembelajaran di Universitas Sultan Zainal Abidin cukup berbeda dengan perguruan tinggi di Indonesia. Selama berkuliah di Universitas Sultan Zainal Abidin dengan mahasiswanya yang tergolong sangat kompetitif. Atmosfir kelas menjadi terasa sangat hidup karena banyaknya diskusi antar mahasiswa satu sama lain, Dosennya tegas dan lugas. Kerap kali secara tiba-tiba menanyakan pertanyaan kepada mahasiswa secara acak yang membuat mahasiswa tidak berpaling dan tetap fokus saat mata kuliah berlangsung, yang pada akhirnya membuat saya berusaha untuk mempelajari materi pembelajaran sesaat sebelum kelas dimulai. Hal yang jarang saya lakukan ketika mengikuti perkuliahan di Indonesia. Setiap mahasiswa disana tampak memiliki cara mereka tersendiri untuk menunjukkan bahwamereka layak berada di tempat ini dan bersaing di antara yang terbaik. Hal ini tentu memberikan dorongan untuk terus maju dan menunjukkan bahwa orang Indonesia juga mampu bersaing dikancah internasional.

Seusai kelas, mahasiswa kerap kali tidak langsung pulang. Banyak dari mereka memilih berkupul di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas dengan alasan “kalau menunggu dikerjakan dirumah nanti menjadi malas dan berakhir tugas tidak kunjung selesai”. Saya mempelajari banyak hal dari mahasiswa di sana, terutama cara mereka me-manajemen waktu dengan sangat baik sehingga memiliki work-life balance yang ideal. Pada awalnya saya kewalahan untuk dapat mengatur waktu dengan baik karena perbedaan waktu antara Indonesia-Malaysia yang cukup mengganggu manajemen waktu saya. Di Indonesia adzan subuh berkumandang di jam 4 pagi. Sedangkan di Malaysia adzan subuh baru berkumandang di sekitar jam 6 pagi. Hal Itu membuat saya selama seminggu kerap kali tetap terbangun di jam 4 pagi dimana langit masih gelap, dan Kembali tertidur lagi lalu baru bangun lagi di jam yang bisa dikatakan terlambat. Namun seiring berjalannya waktu, saya menjadi lebih telaten dalam segi time management. Berbicara mengenai waktu, saya dan teman-teman beberapa kali menyempatkan diri untukmenikmati keindahan negeri Jiran ini dengan mengunjungi beberapa wisata di Terengganu. Dibalik kegembiraan yang kami rasakan, sudah tak heran lagi bahwa biaya yang harus kami korbankan juga lumayan lebih menguras dompet, apalagi dengan nilai tukar rupiah yang terus menurun. Dari sana saya mempelajari cara memanajemen keuangan dengan baik dan betapa bersyukurnya saya mengingat bahwa Universitas Sultan Zainal Abidin dan UMSIDA mendukung kami dalam segi finansial yang cukup meringankan kami.


Salah satu hal yang juga saya sadari selama berkuliah di Malaysia adalah gaya berpakaian mahasiswa setempat yang sungguh berbeda dengan mahasiswa di Indonesia. Kebanyakan dari mereka berpakaian amat sangat rapi dan formal. Bahkan tak jarang dari mereka setiap berpergian yang jaraknya lumayan jauh tak lupa untuk membawa setrika demi berjaga jaga agar pakaian tetap licin dan tidak kusut. Dimana-mana saya bisa menemukan cermin, bahkan di tempat umum sekalipun. Kebiasaan ini yang juga akhirnya membuat saya tetap ingin tampil rapi dan tetap memperhatikan penampilan dimanapun saya berada. Selain untuk menghargai diri sendiri, menjaga penampilan juga bisa meningkatkan rasa percaya diri.


Universitas Sultan Zainal Abidin juga menerima mahasiswa dari luar Malaysia. Saat menjalani perkuliahan di Universitas Sultan Zainal Abidin saya juga mendapatkan 3 teman luar negeri yang berasal dari Pakistan. 2 diantara mereka tetap menjalin hubungan baik dengan saya meski hanya melalui Whatsapp dan Facebook. Mereka Bernama Maftab Chauhdry dan Nazir Khan. Di suatu kesempatan saya bertanya kepada Maftab Chauhdry “why did you choose to study at UNISZA, not in your own country? (kenapa kamu memilih untuk berkuliah di UNISZA, bukan di negaramu sendiri?)” Maftab menjawab “studying at UNISZA is a good decision for my future. Lot of graduates of this campus are successful people and I hope I can get a promising job in Malaysia. because this country has a higher money currency than other countries” (berkuliah di UNISZA adalah keputusan yang bagus untuk masa depan saya. Banyak lulusan dari kampus ini adalah orang sukses. Dan saya harap saya bisa mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan di Malaysia. Karena negara ini memiliki mata uang yang lebih tinggi daripada negara lain).


Saya mendapatkan banyak keuntungan dari program International Credit Transfer ini. Yang jelas, Beda Tujuan, Beda Impresi. Ketika tujuanmu mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri hanya untuk tamasya, jalan-jalan, Bersenang-senang, Maka kamu akan melewatkan keuntungan penting lainnya seperti Memperluas Jaringan, Meningkatkan Daya Saing, Meningkatkan kualitas Pendidikan, dsb. Begitupun Sebaliknya. Jika kita fokus kepada tujuan utama, tentunya tamasya hanyalah sebagai selingan/self reward saja. Jangan sampai kita menukar tujuan utama kita untuk belajar menjadi tamasya.

Related Posts